Minggu, 01 Juni 2014

Hasil Observasi Desa Mawen


Manisnya Kehidupan Mawen

Laporan ini disusun sebagai tugas mata pelajaran Sosiologi, PKn, dan Geografi

 

Disusun oleh:

Janice Alberta XA / 12
Maria Stefani XA / 16


            Sesuai dengan ‘tradisi’ yang sudah ada di SMA Tarakanita 2, tahun ini, kami, anak-anak kelas 10 tahun ajaran 2013-2014 mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan “Live In”. Kegiatan “Live In” merupakan kegiatan hidup di tengah-tengah masyarakat dan melakukan kegiatan aktivitas di desa layaknya seorang masyarakat desa. Kegiatan “Live In” ini diadakan dengan tujuan agar murid-murid dapat merasakan hidup di desa dengan segala kesederhanaannya. Dalam rentang waktu 4 hari 3 malam, kami harus ikut masuk ke dalam kehidupan orang tua asuh kami dan melakukan kegiatan masyarakat  desa. Selama ini, kita hanya berdiam diri di kota menikmati kenyamanan seluruh fasilitas yang ada. Namun tak pernah sekalipun kita membuka mata untuk melihat apa yang terjadi di dunia luar. Sehingga dalam kesempatan ini, kami sekaligus melakukan pengamatan atas kehidupan masyarakat desa. Baik dari segi nilai dan norma, perilaku, kondisi alam, mata pencaharian dan masih banyak lagi.

            Kegiatan “Live In” pada tahun ini akan diselenggarakan di Kelurahan Pesu. Kelurahan Pesu ini kemudian terbagi lagi menjadi 4 desa, antara lain Desa Pesu, Desa Mawen, Desa Tegal, dan Desa Sarap. Jarak antar desa yang satu dengan desa lainnya dapat dikatakan tidak terlalu jauh.Umumnya, jarak antar dusun ditempuh dengan menggunakan sepeda. Rumah yang kami tempati selama 4 hari terletak di Desa Mawen. Desa Mawen merupakan salah satu desa yang cukup luas. Desa Mawen kemudian terbagi lagi menjadi 3 daerah, yaitu Tegal Mawen, Mawen Lor dan Mawen Pesu.

            Di Desa Mawen tersebut, kami tinggal bersama keluarga Ibu Suprihatin. Letaknya  tidak begitu jauh dari kelurahan, bisa ditempuh dengan berjalan kaki maupun dengan motor atau sepeda. Di sepanjang perjalanan menuju Desa Mawen dari Kelurahan, terbentang hamparan sawah yang begitu luas dan lapang. Umumnya, sawah-sawah tersebut ditanami padi. Daerah tersebut pun beriklim tropis dan terletak di dataran rendah, di bawah kaki gunung, sehingga sangat cocok untuk pertumbuhan padi. Desa Mawen ini juga terletak dekat Gunung Merapi, sehingga tanah di wilayah tersebut sangatlah subur oleh abu vulkanik dan cocok untuk ditanami. Maka mayoritas penduduk desa bermata pencaharian sebagai petani. Selain padi, ada pula pisang, mangga, dan pepaya. Dari segi pola pemukiman, jelas terlihat rumah-rumah di Dusun Mawen berdekatan satu dengan yang lain. Selain itu, tidak seperti di kota, masih cukup banyak lahan kosong yang ditutupi oleh pepohonan maupun dijadikan tempat untuk memelihara ternak.

            Rumah Ibu Suprihatin dapat dibilang cukup modern dengan segala kesederhanaannya. Temboknya sudah terbuat dari bata, bercat hijau muda yang warnanya sudah memudar.Lantainya belum berubin dan terbuat dari semen.Atapnya masih terbuat dari kayu tanpa plafon, namun cukup untuk melindungi kami sekeluarga dari terik matahari dan hujan.Listrik pun sudah ada, termasuk televisi dan radio, walaupun lantainya belum berubin. Katanya, Kecamatan Wedi ini, termasuk Desa Mawen pernah dilanda gempa dahsyat pada tahun 2006 yang menghancurkan semua rumah di sini tanpa sisa. Karena itu, rumah-rumah di desa ini adalah bangunan baru. Rumahnya pun tergolong cukup luas. Di belakang rumah masih terdapat tempat untuk hewan-hewan peliharaan Ibu Suprihatin. Dari kambing, ayam, hingga merpati. Hewan-hewan tersebut dipelihara dan apabila sedang dibutuhkan, hewan tersebut dapat dijual ke pasar.Walaupun ibu memiliki ayam, telur yang dipakai untuk dikonsumsi dibeli dari pasar, bukan hasil sendiri. Telur yang dihasilkan ayam peliharaan biasanya dibiarkan menetas.

            Keluarga Ibu Suprihatin beranggotakan 5 orang. Bapak, yang berprofesi sebagai petani. Selain sebagai petani, bapak juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai penebang pohon kelapa. Ibu Suprihatin sendiri adalah seorang ibu rumah tangga. Biasanya ibu bangun di pagi hari lalu menyiapkan makanan untuk anak-anak, mengantar mereka ke sekolah, lalu ibu bersantai di rumah. Namun, jika sedang panen, seperti seminggu setelah kami meninggalkan desa, ibu juga turut membantu bapak memotong padi. Bapak dan ibu memiliki 3 orang putri yang sangat menawan. Putri pertama ibu sudah dewasa, bahkan sudah menikah dan memiliki seorang anak berusia 5 tahun yang bernama Mohammad Junaed Fahri. Ia sudah membangun keluarga sendiri dan tak lagi tinggal bersama bapak dan ibu. Meski begitu, pada akhir pekan biasanya ia mengunjungi bapak dan ibu sambil mengajak serta anak dan suaminya. Putri kedua bernama Titis. Saat ini, ia masih duduk di bangku SMP 3. Baru-baru ini, ia baru saja akan menghadapi Ujian Nasional, sehingga kami sempat membantunya dalam mata pelajaran Matematika. Putri bungsu dalam keluarga Ibu Suprihatin bernama Puput. Ia masih duduk di kelas 5 SD. Walaupun masih lebih muda dari kami berdua, Titis dan Puput adalah anak yang baik dan sangat mandiri.

            Seperti yang kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial. Sehingga sungguh tidak mungkin seorang individu dapat hidup tanpa individu yang lain. Di desa pun demikian.  Antara individu yang satu dengan individu yang lain, individu dengan masyarakat, maupun masyarakat dengan masyarakat terjadi suatu hubungan interaksi.

Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dalam masyarakat.Agar dapat terjadi interaksi sosial, dibutuhkan adanya kontak sosial dan komunikasi. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa melakukan kontak dengan manusia lainnya.Misalnya, kontak ayah dengan anak, kontak ibu dengan anak, kontak antar teman, kontak antar tetangga, kontak antar anggota karang taruna, kontak antara guru dengan murid, dan masih banyak lagi. Melalui kontak sosial tersebut terjadi komunikasi antar pelaku.

Berlangsungnya proses interaksi sosial di Desa Mawen didasarkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah imitasi. Imitasi adalah tindakan untuk meniru orang lain sebagai tokoh ideal. Seperti di rumah yang kami tempati, sosialisasi di keluarga membuat anak-anak cenderung meniru kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tuanya. Tidak hanya di rumah, imitasi pun terjadi di sekolah, atau di kalangan teman sebaya. Selain itu, adapula faktor berupa simpati dan empati. Umumnya, apabila sedang ada hajatan maupun pesta perayaan, seluruh warga masyarakat akan berkumpul dan turut serta menyumbangkan tenaga maupun bahan makanan untuk membantu. Dan apabila ada yang meninggal, seperti saat gempa pada tahun 2006 yang menimpa Desa Mawen dan sekitarnya, warga akan ikut berduka cita bersama walaupun mungkin tidak dekat atau tidak mengenal keluarga korban.

Di tengah  masyarakat desa pun banyak terdapat kegiatan kerjasama. Setiap periode tertentu, masyarakat desa melakukan gotong royong. Para remaja pun juga melakukan kerjasama dalam  bentuk organisasi Karang Taruna. Semua ini tidak luput dari interaksi antar anggota masyarakat. Proses interaksi sosial ini disebut proses interaksi sosial asosiatif. Proses interaksi ini cenderung menciptakan persatuan dan menggalang solidaritas di antara masing-masing anggota kelompok yang melakukan interaksi sosial tersebut. Namun, ada pula proses interaksi sosial disasosiatif yakni proses interaksi yang mengarah ke perpecahan, seperti bentuk persaingan di sekolah untuk mendapatkan peringkat, hingga konflik berupa tawuran antar sekolah.

Segala bentuk-bentuk interaksi sosial tersebut terjadi secara terus-menerus yang berkesinambungan dan kemudian memunculkan adanya nilai dan norma dalam masyarakat. Ada banyak nilai-nilai yang ada di desa. Ada yang positif, namun adapula yang negatif. Namun, menurut pengamatan kami, nilai-nilai positif di desa bukan hanyalah berupa angan-angan atau impian. Nilai-nilai berupa nilai kebersamaan, kepedulian, kesopanan, disiplin, gotong-royong terlihat begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, di desa kami, Desa Mawen ini seringkali diadakan ronda malam yang dilakukan secara bergilir untuk menjaga keamanan dan ketertiban desa. Nilai kesopanan pun masih begitu terlihat. Karena posisi rumah yang berdekatan, umumnya masyarakat desa sungguh mengenal satu sama lain, tak hanya tetangganya, namun juga seluruh masyarakat di dalam desa yang luas itu. Kebanyakan dari mereka masih memiliki hubungan kekerabatan. Ibu asuh kami, Ibu Suprihatin, bahkan memiliki 4 saudara di Desa Mawen yang tinggal berdekatan. Pada saat kami tinggal di rumah Ibu Suprihatin pun, tak jarang ada sanak saudaranya yang datang. Suatu kali, keponakan Ibu datang untuk menginap dan membantu-bantu ibu. Di dalam keluarga sendiri, nilai kebersamaan juga dapat terbilang sangatlah kental. Tak seperti di kota, di mana sebuah keluarga tidak lagi bertingkah seperti keluarga. Sikap individualisme di desa jarang sekali ditemukan. Saat makan pagi maupun makan malam, seluruh anggota keluarga saling membantu satu sama lain dan duduk bersama untuk menyantap makanan yang ada. Kemudian, kami akan duduk di ruang tengah sambil berbincang dan menonton televisi. Bahkan, Puput, anak Ibu Suprihatin yang paling kecil pernah berujar, Bapak seringkali mendongeng menggunakan wayang. Jadi di tengah kesibukan masing-masing, mereka masih bisa meluangkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga.

            Menurut kami, nilai-nilai ini sungguh berfungsi dengan baik. Nilai kebersamaan dan kekeluargaan di desa masih begitu kental sehingga kesenjangan sosial yang ada pun tidak menimbulkan masalah besar. Mereka sudi membantu satu sama lain yang membutuhkan bantuan. Jikalau sedang musim panen pun, mereka rela berbagi apa yang mereka punya kepada orang lain. Nilai-nilai inilah yang mendorong masyarakat Desa Mawen menjadi masyarakat yang berbudi luhur karena mereka berhasil merealisasikan nilai sosial yang bermutu tinggi tersebut.Nilai-nilai ini jugalah yang meningkatkan solidaritas dalam masyarakat. Sebagai contoh, ketika ada seorang warga desa yang meninggal, semua warga tanpa terkecuali akan ikut berkabung. Ataupun apabila ada yang sakit, umumnya akan diumumkan ke warga desa yang lain dan akan dikumpulkan iuran untuk menjenguk warga desa tersebut.Walaupun tidak kenal, mereka akan tetap datang untuk menunjukkan rasa simpati mereka. Ataupun apabila Karena kebersamaan dan rasa percaya satu sama lain yang sangat tinggi, sistem nilai ini memberikan rasa nyaman dan aman bagi anggota masyarakat. Mereka saling menghargai satu sama lain, saling percaya satu sama lain. Kontras dengan kondisi kota yang masih perlu dilengkapi dengan satpam, kamera CCTV, dan lain-lain, mereka tidak merasa perlu untuk menutup pintu rumah mereka. Bahkan tidak ada pagar yang memisahkan antara jalan raya dengan rumah. Mungkin kita berpikir, apakah tidak takut kemasukkan pencuri? Tidak, mereka percaya rumah mereka tetap aman dengan pintu terbuka dan tak ada yang berniat jahat untuk mengambil kepunyaan orang lain. Nilai religius pun masih dapat terhitung tinggi, karena mereka tidak berani melakukan perbuatan kriminal karena dianggap dosa. Tidak ada perasaan iri ataupun egois, karena mereka percaya satu sama lain dan terbuka untuk berbagi dengan sesama mereka.

            Memang kehidupan di desa dapat dibilang cukup tertib. Norma-norma di desa Mawen ini menurut kami kurang tegas dan cukup ringan. Biasanya norma-norma tersebut adalah norma tidak tertulis. Tapi bukan berarti norma ditiadakan dari masyarakat. Norma kesopanan masih terlihat jelas di kalangan masyarakat. Ketika ada yang berkunjung ke rumah tetangga, walaupun pintu rumah terbuka lebar, mereka tetap mengetuk pintu menunggu ada orang di rumah, tidak langsung masuk tanpa izin. Untuk norma kesusilaan, pacaran di depan umum, seperti menunjukkan kasih sayang yang terkadang melewati batas sangatlah dilarang karena dianggap tidak pantas. Tapi, masih banyak remaja yang pacaran secara sembunyi-sembunyi. Untuk norma kebiasaan, para muda-mudi maupun anak-anak masih seringkali menyapa para orang tua yang ada jika bertemu walau hanya sekedar bertegur sapa. Ketika kami berada di desa, para orang-tua masih menanggapi sapaan kami. Tidak ada yang berpura-pura tidak kenal maupun tidak mendengar. Seperti yang tadi telah disinggung, norma tata kelakuan masih kurang tegas. Misalnya, jika terjadi tawuran, masyarakat tidak akan mengambil tindakan yang bersifat koersif, melainkan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib. Setelah melaporkan pelanggaran yang terjadi, pihak berwajib akan memberikan peringatan, tapi tidak memberikan sanksi dahulu. Ketika pelanggar telah diberi peringatan sebanyak tiga kali barulah diambil tindakan.

Norma yang berlaku kebanyakan adalah norma adat. Banyak adat istiadat kebiasaan yang dapat kita temukan di Desa Mawen. Contohnya ketika ada perkawinan, akan diselenggarakan hajatan yang berlangsung paling singkat seminggu. Selama hajatan itu, keluarga dari calon pengantin akan mengadakan pesta makan-makan dan mengundang seluruh desa. Dalam hal ini, nilai gotong royong sangatlah terlihat. Ibu-ibu akan membantu memasak dan menyiapkan segala sesuatu. Bapak-bapak akan meminjamkan barang dan tenaga. Para remaja terutama yang terlibat dalam Karang Taruna akan mengembalikan barang-barang pinjaman dan ikut membersihkan. Seluruh desa ikut berpartisipasi dalam setiap event.Ada juga peraturan desa yang mengatur kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah norma tentang aturan penyewaan lahan. Pemerintah desa dapat menyewakan tanah resmi pemerintah kepada masyarakat untuk dijadikan lahan bersawah. Pemerintah menentukan harga dasar pembelian sebesar Rp. 2.500.000,00,- sehingga calon pembeli harus memberikan tawaran harga beli yang dapat bersaing untuk mendapatkan lahan tersebut.

Proses sosialisasi pun juga terjadi di lingkungan masyarakat desa. Nilai dan norma tersebut disosialisasikan oleh orang tua maupun dari pihak sekolah. Yang terutama dan utama adalah sosialisasi primer yang terjadi di keluarga. Keluargalah yang pertama kali menanamkan kebiasaan, nilai dan norma dalam diri anak. Proses sosialisasi primer adalah dasar bagi anak sebelum anak memasuki lingkungan masyarakat. Jika nilai yang disosialisasikan yang baik-baik, maka anak pun akan berperilaku baik. Sebaliknya, apabila keluarga cenderung tidak peduli akan anak dan nilai yang disosialisasikan buruk, maka anak pun akan berperilaku buruk.

Karena penanaman nilai dan norma yang baik dan tegas di keluarga Ibu Suprihatin, anak-anaknya pun menjadi anak yang penurut dan patuh. Sedari kecil, mereka sudah dibiasakan untuk mandiri dan diajak turut serta dalam mengambil tugas-tugas rumah tangga, seperti menyapu, mencuci piring, mencuci baju, dan lain-lain. Pembagian tugas pun terlaksana dengan sangat baik sehingga rumah dapat terjaga kebersihan dan kerapihannya. Di sekolah pun, sosialisasi yang dilakukan tentunya baik. Terbukti dari kebiasaan Titis dan Puput yang selalu belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah pada sore hari. Tentunya sekolah mendorong mereka untuk menjadi anak-anak yang tekun.

Dalam rumah sendiri, jarang sekali ada pelanggaran nilai dan norma. Dan jikalau ada, Ibu Suprihatin tidak akan memberi sanksi berupa kekerasan, melainkan dalam bentuk sosialisasi partisipatoris sehingga Titis dan Puput juga akan ikut ambil bagian dalam perbaikan sikap. Jadi, anak-anak dipercaya dapat sadar akan norma-norma yang ada dan tahu mana yang baik dan mana yang buruk.

            Banyak sekali anggota masyarakat yang berperan dalam proses sosialisasi anak. Dimulai dari keluarga, teman sebaya di sekitar rumah, sekolah, hingga media massa. Yang paling dominan di masa kini adalah peran media massa. Di Desa Mawen, belum terdapat jaringan internet, jika adapun masih kurang baik. Namun, mayoritas masyarakat Desa Mawen sudah memiliki radio, terlebih lagi televisi. Di rumah kami, khususnya, televisi sering sekali dipakai sebagai hiburan di kala bosan. Terutama karena sepulang dari sekolah, anak-anak tidak memiliki pekerjaan lain, sehingga biasanya mereka nonton bersama ibu. Film-film yang ditonton sebenarnya tidak pantas untuk anak seusia mereka. Tayangan yang biasa mereka tonton berupa sinetron. Sinetron, tentunya sangatlah berbahaya bagi anak-anak, karena banyak adegan mesra yang belum pantas dan juga kata-kata kasar. Dan anehnya, tidak ada halangan dari orang tua ataupun anjuran akan mana yang layak ditonton dan mana yang tidak. Untuk radio pun, lagu yang diputar berupa dangdut. Dan bila didengar dengan jelas, lagu-lagu tersebut mengandung banyak kata yang sangatlah tidak pantas.

Walaupun nilai dan norma di desa diterapkan serta dijalankan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tetap saja dapat ditemukan perilaku yang menyimpang atau perilaku yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada. Memang, norma yang ada biasanya secara lisan atau tidak tertulis, namun norma tersebut tetap diakui di masyarakat. Penyimpangan yang ditemukan melanggar peraturan desa dan juga adat istiadat yang berlaku di sana. Budaya ideal adalah keadaan yang aman dan tentram, tapi nyatanya tetap saja ada yang namanya pencurian, yang merupakan salah satu contoh perilaku menyimpang yang bersifat mutlak. Terdapat juga penyimpangan yang telah menyesuaikan diri ke dalam kebudayaan masyarakat Desa Mawen, yaitu konsumsi minuman keras. Tidak ada peraturan mengenai minuman keras.Anak-anak remaja diperbolehkan untuk mengkonsumsi minuman keras asal tidak menimbulkan keributan. Tetapi penyimpangan ini memiliki norma penghindaran dimana penyimpangan dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau hanya pada saat hajatan berlangsung dan tidak pada siang hari di tempat terbuka sehingga pelaku penyimpangan tidak mendapat celaan dari masyarakat sekitar.

Perilaku menyimpang ini biasa dilakukan oleh pihak remaja. Umumnya disebabkan oleh faktor intelegensi, di mana mungkin mereka kurang mendapatkan pendidikan mengenai etika dalam masyarakat. Peran keluarga pun mungkin tidak harmonis atau broken home sehingga anak terjerumus ke hal-hal yang tidak baik. Faktor sanksi yang tidak tegas dan tergolong ringan pun tidak menimbulkan efek jera bagi pelanggar. Bahkan tidak ada aturan mengenai rokok ataupun alkohol. Dan sangat mungkin perilaku menyimpang tersebut merupakan hasil meniru dari media massa, terutama sinetron atau berita yang mengandung begitu banyak unsur kekerasan.

Penyimpangan yang terjadi sangatlah beraneka ragam. Berdasarkan bentuknya, yang paling sering terjadi adalah penyimpangan sekunder dari hasil minum-minum para remaja. Berdasarkan sifatnya, terdapat penyimpangan positif di mana kaum wanita pun ikut menjadi petani untuk membantu penghasilan keluarga. Berdasarkan pelaku, biasanya penyimpangan dilakukan individual maupun kelompok.

Sebagian besar penyimpangan yang terjadi di Desa Mawen termasuk kenakalan remaja, yaitu tawuran. Adapula penyimpangan berupa kriminalitas. Biasanya kejahatan tersebut berupa kejahatan tanpa korban maupun kejahatan kerah biru. Penyimpangan yang dilakukan biasanya hanya merugikan diri sendiri tanpa merugikan orang lain, contohnya mabuk-mabukan. Karena penduduk di Desa Mawen masih tergolong ekonomi menengah ke bawah, kejahatan yang dilakukan tergolong kejahatan kerah biru karena dampaknya tidak begitu besar. Penyimpangan juga biasa dilakukan secara individual, seperti pencurian. Walaupun sebenarnya, pencurian yang terjadi juga merupakan salah pemilik rumah yang menjadi korban. Karena rasa percaya yang terlalu tinggi antara satu sama lain, pintu-pintu rumah dibiarkan terbuka lebar sehingga sangat mudah untuk orang lain keluar masuk seenaknya tanpa diketahui. Orang yang tertangkap mencuri juga tidak akan dibawa langsung ke polisi. Awalnya, mereka hanya akan diberi peringatan, lalu jika mereka mengulangi perbuatan yang sama, barukah akan dilaporkan ke pihak yang berwajib. Bentuk penyimpangan yang sering ditemukan adalah alkoholisme. Tidak hanya orang dewasa, bahkan remaja/pelajar yang masih dibawah umur pun sudah biasa dalam hal mengkonsumsi minuman keras. Tak jarang juga, hal ini berujung pada kenakalan remaja dalam bentuk tawuran. Biasanya pada saat hajatan dan banyak remaja yang mabuk, akan terjadi tawuran antara 2 kelompok yang menyebabkan banyak orang terluka. Tawuran ini akan terus berlangsung sampai datang bantuan dari pihak instansi keamanan untuk melerai. Rokok juga sudah bukan lagi menjadi benda asing bagi para remaja. Banyak remaja bahkan anak kecil yang sudah merokok.

 Tampaknya, walaupun ada peraturan desa dan adat istiadat, penyelenggaraan nyata norma-norma tersebut lebih bebas daripada yang terjadi di kota bebas. Contoh lainnya adalah mengendarai sepeda motor tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan tidak menggunakan helm. Banyak remaja-remaja yang membawa motor secara kebut-kebutan dan tidak berhati-hati. Sekarang pun banyak remaja yang terlihat berpacaran di depan umum tanpa mempedulikan perkataan dan gosip tetangga. Banyak ditemukan 2 remaja yang sedang berpacaran sambil berpegangan tangan atau duduk berpangkuan tanpa memperhatikan batasan-batasan norma. Perilaku menyimpang di sini dipengaruhi oleh faktor media massa. Para remaja tidak memiliki banyak hal untuk dilakukan sepulang sekolah sehingga mereka akan menghabiskan waktu mereka di depan televisi untuk menonton sinetron atau mendengarkan lagu dangdut dari radio. Sinetron atau film yang ditayangkan di saluran televisi kebanyakan belum disaring apakah cocok untuk penonton dibawah umur.Apalagi orang tua di desa belum memiliki kesadaran untuk mengawasi tontonan anaknya, sehingga anak dapat mendapatkan banyak informasi yang mungkin mengandung kekerasan atau hal-hal yang tidak pantas. Banyak lagu-lagu dangdut yang mengandung lirik tidak senonoh dan tidak cocok untuk didengarkan oleh para remaja. Pergaulan di desa juga terlalu bebas, orang tua biasanya terlalu memberikan kepercayaan kepada anaknya dengan anggapan mengenal semua anggota masyarakat di desa tersebut.Sehingga tanpa adanya pengawasan yang tegas, mereka bisa mendapatkan pengaruh yang tidak baik dari lingkaran pergaulannya. Kehidupan desa yang penuh kebersamaan dan solidaritas tetap tidak menutup kemungkinan adanya segelintir orang yang anti sosial. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat mereka. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan seseorang untuk menerima perbedaan sosial Ada sedikit sikap rasisme dan stereotip yang muncul karena penyimpangan/deviasi biologis seperti ras, suku, dll. Beberapa remaja terdengar mengejek dan membeda-bedakan ras. Mereka juga memiliki pandangan stereotip tentang orang yang tinggal di kota. Menurut mereka, orang yang tinggal di perkotaan tidak dapat mengerjakan pekerjaan rumah karena semuanya telah diselesaikan oleh pembantu, tidak mengetahui hal-hal dasar sederhana, dll. Ada juga seorang anak perempuan di Desa Mawen yang mengalami gangguan mental, dia tidak dapat berbicara dan lancar ataupun berkomunikasi dengan baik. Anak itu tidak disukai dan dikucilkan oleh anak-anak lain seumurannya, walaupun orang-orang dewasa tetap memperlakukannya sama dengan yang lain. Dengan adanya penyimpangan, tentu saja akan diadakan pengendalian sosial untuk mempertahankan stabilitas dan keserasian sosial. Ada yang preventif, yaitu berbentuk pencegahan sebelum penyimpangan terjadi. Dilakukan dengan cara nasihat atau peringatan yang kebanyakan dilakukan dalam lingkungan keluarga, oleh orang tua kepada anaknya. Ada juga yang represif, yaitu pengendalian yang dilakukan setelah penyimpangan terjadi untuk penanggulangannya. Pengendalian di Desa Mawen ada yang bersifat kuratif untuk memperbaiki karena tidak melibatkan si pelaku penyimpangan dalam proses pengendalian itu sendiri. Pengendalian dapat berupa pendidikan yang ada di sekolah maupun di rumah. Sayangnya, pendidikan di desa ini belum memadai. Taraf pendidikannya masih lebih rendah daripada yang ada di perkotaan sehingga pendidikan moral pun kurang ditanami kepada para murid. Bisa juga berupa pendidikan agama yang terlihat sekali, karena tingkat religiusitas di Desa Mawen cukup tinggi. Jika terjadi penyimpangan, hal yang pertama kali dilakukan adalah gossip/desas-desus yang tersebar dengan cepat terutama dikalangan ibu-ibu. Lalu, darisana mulai munculah sindiran dan cemoohan dari masyarakat sekitar. Biasanya ibu-ibu akan melakukan hal ini setiap sore di depan rumah bersama dengan tetangga sekitar. Jika pelaku penyimpang masih belum sadar juga, maka akan mendapatkan teguran secara terbuka. Sebagai jalan terakhir bagi lelaku yang tetap tidak berubah, akan diurus oleh pihak yang berwajib sesuai dengan peraturan yang berlaku. Lembaga yang paling berperan adalam lembaga kepolisian, lembaga adat dan tokoh masyarakat.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar