Manisnya Kehidupan Mawen
Laporan
ini disusun sebagai tugas mata pelajaran Sosiologi, PKn, dan Geografi
Disusun oleh:
Janice Alberta XA / 12
Maria Stefani XA / 16
Sesuai dengan ‘tradisi’ yang sudah
ada di SMA Tarakanita 2, tahun ini, kami, anak-anak kelas 10 tahun ajaran
2013-2014 mendapat kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan “Live In”.
Kegiatan “Live In” merupakan kegiatan hidup di tengah-tengah masyarakat dan
melakukan kegiatan aktivitas di desa layaknya seorang masyarakat desa. Kegiatan
“Live In” ini diadakan dengan tujuan agar murid-murid dapat merasakan hidup di
desa dengan segala kesederhanaannya. Dalam rentang waktu 4 hari 3 malam, kami
harus ikut masuk ke dalam kehidupan orang tua asuh kami dan melakukan kegiatan
masyarakat desa. Selama ini, kita hanya
berdiam diri di kota menikmati kenyamanan seluruh fasilitas yang ada. Namun tak
pernah sekalipun kita membuka mata untuk melihat apa yang terjadi di dunia
luar. Sehingga dalam kesempatan ini, kami sekaligus melakukan pengamatan atas
kehidupan masyarakat desa. Baik dari segi nilai dan norma, perilaku, kondisi
alam, mata pencaharian dan masih banyak lagi.
Kegiatan “Live In” pada tahun ini
akan diselenggarakan di Kelurahan Pesu. Kelurahan Pesu ini kemudian terbagi
lagi menjadi 4 desa, antara lain Desa Pesu, Desa Mawen, Desa Tegal, dan Desa
Sarap. Jarak antar desa yang satu dengan desa lainnya dapat dikatakan tidak
terlalu jauh.Umumnya, jarak antar dusun ditempuh dengan menggunakan sepeda. Rumah
yang kami tempati selama 4 hari terletak di Desa Mawen. Desa Mawen merupakan
salah satu desa yang cukup luas. Desa Mawen kemudian terbagi lagi menjadi 3
daerah, yaitu Tegal Mawen, Mawen Lor dan Mawen Pesu.
Di Desa Mawen tersebut, kami tinggal
bersama keluarga Ibu Suprihatin. Letaknya tidak begitu jauh dari kelurahan, bisa
ditempuh dengan berjalan kaki maupun dengan motor atau sepeda. Di sepanjang
perjalanan menuju Desa Mawen dari Kelurahan, terbentang hamparan sawah yang
begitu luas dan lapang. Umumnya, sawah-sawah tersebut ditanami padi. Daerah
tersebut pun beriklim tropis dan terletak di dataran rendah, di bawah kaki
gunung, sehingga sangat cocok untuk pertumbuhan padi. Desa Mawen ini juga
terletak dekat Gunung Merapi, sehingga tanah di wilayah tersebut sangatlah
subur oleh abu vulkanik dan cocok untuk ditanami. Maka mayoritas penduduk desa
bermata pencaharian sebagai petani. Selain padi, ada pula pisang, mangga, dan
pepaya. Dari segi pola pemukiman, jelas terlihat rumah-rumah di Dusun Mawen
berdekatan satu dengan yang lain. Selain itu, tidak seperti di kota, masih
cukup banyak lahan kosong yang ditutupi oleh pepohonan maupun dijadikan tempat
untuk memelihara ternak.
Rumah Ibu Suprihatin dapat dibilang
cukup modern dengan segala kesederhanaannya. Temboknya sudah terbuat dari bata,
bercat hijau muda yang warnanya sudah memudar.Lantainya belum berubin dan
terbuat dari semen.Atapnya masih terbuat dari kayu tanpa plafon, namun cukup
untuk melindungi kami sekeluarga dari terik matahari dan hujan.Listrik pun
sudah ada, termasuk televisi dan radio, walaupun lantainya belum berubin.
Katanya, Kecamatan Wedi ini, termasuk Desa Mawen pernah dilanda gempa dahsyat
pada tahun 2006 yang menghancurkan semua rumah di sini tanpa sisa. Karena itu,
rumah-rumah di desa ini adalah bangunan baru. Rumahnya pun tergolong cukup
luas. Di belakang rumah masih terdapat tempat untuk hewan-hewan peliharaan Ibu
Suprihatin. Dari kambing, ayam, hingga merpati. Hewan-hewan tersebut dipelihara
dan apabila sedang dibutuhkan, hewan tersebut dapat dijual ke pasar.Walaupun
ibu memiliki ayam, telur yang dipakai untuk dikonsumsi dibeli dari pasar, bukan
hasil sendiri. Telur yang dihasilkan ayam peliharaan biasanya dibiarkan
menetas.
Keluarga Ibu Suprihatin
beranggotakan 5 orang. Bapak, yang berprofesi sebagai petani. Selain sebagai
petani, bapak juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai penebang pohon kelapa. Ibu
Suprihatin sendiri adalah seorang ibu rumah tangga. Biasanya ibu bangun di pagi
hari lalu menyiapkan makanan untuk anak-anak, mengantar mereka ke sekolah, lalu
ibu bersantai di rumah. Namun, jika sedang panen, seperti seminggu setelah kami
meninggalkan desa, ibu juga turut membantu bapak memotong padi. Bapak dan ibu
memiliki 3 orang putri yang sangat menawan. Putri pertama ibu sudah dewasa,
bahkan sudah menikah dan memiliki seorang anak berusia 5 tahun yang bernama
Mohammad Junaed Fahri. Ia sudah membangun keluarga sendiri dan tak lagi tinggal
bersama bapak dan ibu. Meski begitu, pada akhir pekan biasanya ia mengunjungi
bapak dan ibu sambil mengajak serta anak dan suaminya. Putri kedua bernama
Titis. Saat ini, ia masih duduk di bangku SMP 3. Baru-baru ini, ia baru saja
akan menghadapi Ujian Nasional, sehingga kami sempat membantunya dalam mata
pelajaran Matematika. Putri bungsu dalam keluarga Ibu Suprihatin bernama Puput.
Ia masih duduk di kelas 5 SD. Walaupun masih lebih muda dari kami berdua, Titis
dan Puput adalah anak yang baik dan sangat mandiri.
Seperti yang kita ketahui, manusia
adalah makhluk sosial. Sehingga sungguh tidak mungkin seorang individu dapat
hidup tanpa individu yang lain. Di desa pun demikian. Antara individu yang satu dengan individu
yang lain, individu dengan masyarakat, maupun masyarakat dengan masyarakat
terjadi suatu hubungan interaksi.
Interaksi
sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu
dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dalam masyarakat.Agar dapat
terjadi interaksi sosial, dibutuhkan adanya kontak sosial dan komunikasi. Dalam
kehidupan sehari-hari, manusia senantiasa melakukan kontak dengan manusia
lainnya.Misalnya, kontak ayah dengan anak, kontak
ibu dengan
anak, kontak antar teman, kontak antar tetangga,
kontak antar anggota karang taruna, kontak antara guru dengan murid, dan masih
banyak lagi.
Melalui kontak sosial tersebut terjadi komunikasi antar pelaku.
Berlangsungnya proses interaksi sosial
di Desa Mawen didasarkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah imitasi.
Imitasi adalah tindakan untuk meniru orang lain sebagai tokoh ideal. Seperti di
rumah yang kami tempati, sosialisasi di keluarga membuat anak-anak cenderung
meniru kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tuanya. Tidak hanya di
rumah, imitasi pun terjadi di sekolah, atau di kalangan teman sebaya. Selain
itu, adapula faktor berupa simpati dan empati. Umumnya, apabila sedang ada
hajatan maupun pesta perayaan, seluruh warga masyarakat akan berkumpul dan
turut serta menyumbangkan tenaga maupun bahan makanan untuk membantu. Dan
apabila ada yang meninggal, seperti saat gempa pada tahun 2006 yang menimpa
Desa Mawen dan sekitarnya, warga akan ikut berduka cita bersama walaupun
mungkin tidak dekat atau tidak mengenal keluarga korban.
Di
tengah masyarakat desa pun banyak terdapat
kegiatan kerjasama. Setiap periode tertentu, masyarakat desa melakukan gotong
royong. Para remaja pun juga melakukan kerjasama dalam bentuk organisasi Karang Taruna. Semua ini
tidak luput dari interaksi antar anggota masyarakat. Proses interaksi sosial
ini disebut proses interaksi sosial asosiatif. Proses interaksi ini cenderung
menciptakan persatuan dan menggalang solidaritas di antara masing-masing
anggota kelompok yang melakukan interaksi sosial tersebut. Namun, ada pula
proses interaksi sosial disasosiatif yakni proses interaksi yang mengarah ke perpecahan, seperti bentuk persaingan di sekolah untuk mendapatkan
peringkat, hingga konflik berupa tawuran antar sekolah.
Segala bentuk-bentuk interaksi sosial
tersebut terjadi secara terus-menerus
yang berkesinambungan dan kemudian memunculkan adanya nilai dan
norma dalam masyarakat. Ada banyak nilai-nilai yang ada di desa. Ada yang
positif, namun adapula yang negatif. Namun, menurut pengamatan kami,
nilai-nilai positif di desa bukan hanyalah berupa angan-angan atau impian. Nilai-nilai
berupa nilai kebersamaan, kepedulian, kesopanan, disiplin, gotong-royong
terlihat begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, di desa kami, Desa
Mawen ini seringkali diadakan ronda malam yang dilakukan secara bergilir untuk
menjaga keamanan dan ketertiban desa. Nilai kesopanan pun masih begitu
terlihat. Karena posisi rumah yang berdekatan, umumnya masyarakat desa sungguh
mengenal satu sama lain, tak hanya tetangganya, namun juga seluruh masyarakat
di dalam desa yang luas itu. Kebanyakan dari mereka masih memiliki hubungan
kekerabatan. Ibu asuh kami, Ibu Suprihatin, bahkan memiliki 4 saudara di Desa
Mawen yang tinggal berdekatan. Pada saat kami tinggal di rumah Ibu Suprihatin
pun, tak jarang ada sanak saudaranya yang datang. Suatu kali, keponakan Ibu
datang untuk menginap dan membantu-bantu ibu. Di dalam keluarga sendiri, nilai
kebersamaan juga dapat terbilang sangatlah kental. Tak seperti di kota, di mana
sebuah keluarga tidak lagi bertingkah seperti keluarga. Sikap individualisme di
desa jarang sekali ditemukan. Saat makan pagi maupun makan malam, seluruh
anggota keluarga saling membantu satu sama lain dan duduk bersama untuk
menyantap makanan yang ada. Kemudian, kami akan duduk di ruang tengah sambil
berbincang dan menonton televisi. Bahkan, Puput, anak Ibu Suprihatin yang
paling kecil pernah berujar, Bapak seringkali mendongeng menggunakan wayang.
Jadi di tengah kesibukan masing-masing, mereka masih bisa meluangkan waktu
untuk berkumpul bersama keluarga.
Menurut kami, nilai-nilai ini
sungguh berfungsi dengan baik. Nilai kebersamaan dan kekeluargaan di desa masih
begitu kental sehingga kesenjangan sosial yang ada pun tidak menimbulkan
masalah besar. Mereka sudi membantu satu sama lain yang membutuhkan bantuan.
Jikalau sedang musim panen pun, mereka rela berbagi apa yang mereka punya
kepada orang lain. Nilai-nilai inilah yang mendorong masyarakat Desa Mawen
menjadi masyarakat yang berbudi luhur karena mereka berhasil merealisasikan
nilai sosial yang bermutu tinggi tersebut.Nilai-nilai ini jugalah yang
meningkatkan solidaritas dalam masyarakat. Sebagai contoh, ketika ada seorang
warga desa yang meninggal, semua warga tanpa terkecuali akan ikut berkabung.
Ataupun apabila ada yang sakit, umumnya akan diumumkan ke warga desa yang lain
dan akan dikumpulkan iuran untuk menjenguk warga desa tersebut.Walaupun tidak
kenal, mereka akan tetap datang untuk menunjukkan rasa simpati mereka. Ataupun
apabila Karena kebersamaan dan rasa percaya satu sama lain yang sangat tinggi,
sistem nilai ini memberikan rasa nyaman dan aman bagi anggota masyarakat.
Mereka saling menghargai satu sama lain, saling percaya satu sama lain. Kontras
dengan kondisi kota yang masih perlu dilengkapi dengan satpam, kamera CCTV, dan
lain-lain, mereka tidak merasa perlu untuk menutup pintu rumah mereka. Bahkan
tidak ada pagar yang memisahkan antara jalan raya dengan rumah. Mungkin kita
berpikir, apakah tidak takut kemasukkan pencuri? Tidak, mereka percaya rumah
mereka tetap aman dengan pintu terbuka dan tak ada yang berniat jahat untuk
mengambil kepunyaan orang lain. Nilai religius pun masih dapat terhitung
tinggi, karena mereka tidak berani melakukan perbuatan kriminal karena dianggap
dosa. Tidak ada perasaan iri ataupun egois, karena mereka percaya satu sama
lain dan terbuka untuk berbagi dengan sesama mereka.
Memang kehidupan di desa dapat
dibilang cukup tertib. Norma-norma di desa Mawen ini menurut kami kurang tegas
dan cukup ringan. Biasanya norma-norma tersebut adalah norma tidak tertulis.
Tapi bukan berarti norma ditiadakan dari masyarakat. Norma kesopanan masih
terlihat jelas di kalangan masyarakat. Ketika ada yang berkunjung ke rumah
tetangga, walaupun pintu rumah terbuka lebar, mereka tetap mengetuk pintu
menunggu ada orang di rumah, tidak langsung masuk tanpa izin. Untuk norma
kesusilaan, pacaran di depan umum, seperti menunjukkan kasih sayang yang
terkadang melewati batas sangatlah dilarang karena dianggap tidak pantas. Tapi,
masih banyak remaja yang pacaran secara sembunyi-sembunyi. Untuk norma
kebiasaan, para muda-mudi maupun anak-anak masih seringkali menyapa para orang
tua yang ada jika bertemu walau hanya sekedar bertegur sapa. Ketika kami berada
di desa, para orang-tua masih menanggapi sapaan kami. Tidak ada yang
berpura-pura tidak kenal maupun tidak mendengar. Seperti yang tadi telah
disinggung, norma tata kelakuan masih kurang tegas. Misalnya, jika terjadi
tawuran, masyarakat tidak akan mengambil tindakan yang bersifat koersif,
melainkan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib. Setelah melaporkan pelanggaran
yang terjadi, pihak berwajib akan memberikan peringatan, tapi tidak memberikan
sanksi dahulu. Ketika pelanggar telah diberi peringatan sebanyak tiga kali
barulah diambil tindakan.
Norma
yang berlaku kebanyakan adalah norma adat. Banyak adat istiadat kebiasaan yang
dapat kita temukan di Desa Mawen. Contohnya ketika ada perkawinan, akan
diselenggarakan hajatan yang berlangsung paling singkat seminggu. Selama
hajatan itu, keluarga dari calon pengantin akan mengadakan pesta makan-makan
dan mengundang seluruh desa. Dalam hal ini, nilai gotong royong sangatlah
terlihat. Ibu-ibu akan membantu memasak dan menyiapkan segala sesuatu.
Bapak-bapak akan meminjamkan barang dan tenaga. Para remaja terutama yang
terlibat dalam Karang Taruna akan mengembalikan barang-barang pinjaman dan ikut
membersihkan. Seluruh desa ikut berpartisipasi dalam setiap event.Ada juga
peraturan desa yang mengatur kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah norma
tentang aturan penyewaan lahan. Pemerintah desa dapat menyewakan tanah resmi
pemerintah kepada masyarakat untuk dijadikan lahan bersawah. Pemerintah
menentukan harga dasar pembelian sebesar Rp. 2.500.000,00,- sehingga calon
pembeli harus memberikan tawaran harga beli yang dapat bersaing untuk
mendapatkan lahan tersebut.
Proses sosialisasi pun juga terjadi di
lingkungan masyarakat desa. Nilai dan norma tersebut disosialisasikan oleh
orang tua maupun dari pihak sekolah. Yang terutama dan utama adalah sosialisasi
primer yang terjadi di keluarga. Keluargalah yang pertama kali menanamkan
kebiasaan, nilai dan norma dalam diri anak. Proses sosialisasi primer adalah
dasar bagi anak sebelum anak memasuki lingkungan masyarakat. Jika nilai yang
disosialisasikan yang baik-baik, maka anak pun akan berperilaku baik.
Sebaliknya, apabila keluarga cenderung tidak peduli akan anak dan nilai yang
disosialisasikan buruk, maka anak pun akan berperilaku buruk.
Karena penanaman nilai dan norma yang
baik dan tegas di keluarga Ibu Suprihatin, anak-anaknya pun menjadi anak yang
penurut dan patuh. Sedari kecil, mereka sudah dibiasakan untuk mandiri dan
diajak turut serta dalam mengambil tugas-tugas rumah tangga, seperti menyapu,
mencuci piring, mencuci baju, dan lain-lain. Pembagian tugas pun terlaksana
dengan sangat baik sehingga rumah dapat terjaga kebersihan dan kerapihannya. Di
sekolah pun, sosialisasi yang dilakukan tentunya baik. Terbukti dari kebiasaan
Titis dan Puput yang selalu belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah pada sore
hari. Tentunya sekolah mendorong mereka untuk menjadi anak-anak yang tekun.
Dalam rumah sendiri, jarang sekali ada
pelanggaran nilai dan norma. Dan jikalau ada, Ibu Suprihatin tidak akan memberi
sanksi berupa kekerasan, melainkan dalam bentuk sosialisasi partisipatoris sehingga Titis dan
Puput juga akan ikut ambil bagian dalam perbaikan sikap. Jadi,
anak-anak dipercaya dapat sadar akan norma-norma yang ada dan tahu mana yang
baik dan mana yang buruk.
Banyak
sekali anggota masyarakat yang berperan dalam proses sosialisasi anak. Dimulai
dari keluarga, teman sebaya di sekitar rumah, sekolah, hingga media massa. Yang
paling dominan di masa kini adalah peran media massa. Di Desa Mawen, belum
terdapat jaringan internet, jika adapun masih kurang baik. Namun, mayoritas
masyarakat Desa Mawen sudah memiliki radio, terlebih lagi televisi. Di rumah
kami, khususnya, televisi sering sekali dipakai sebagai hiburan di kala bosan.
Terutama karena sepulang dari sekolah, anak-anak tidak memiliki pekerjaan lain,
sehingga biasanya mereka nonton bersama ibu. Film-film yang ditonton sebenarnya
tidak pantas untuk anak seusia mereka. Tayangan yang biasa mereka tonton berupa
sinetron. Sinetron, tentunya sangatlah berbahaya bagi anak-anak, karena banyak
adegan mesra yang belum pantas dan juga kata-kata kasar. Dan anehnya, tidak ada
halangan dari orang tua ataupun anjuran akan mana yang layak ditonton dan mana
yang tidak. Untuk radio pun, lagu yang diputar berupa dangdut. Dan bila
didengar dengan jelas, lagu-lagu tersebut mengandung banyak kata yang sangatlah
tidak pantas.
Walaupun
nilai dan norma di desa diterapkan serta dijalankan dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari, tetap saja dapat ditemukan perilaku yang menyimpang atau perilaku
yang tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada.
Memang, norma yang ada biasanya secara lisan atau tidak tertulis, namun norma
tersebut tetap diakui di masyarakat. Penyimpangan yang ditemukan melanggar peraturan
desa dan juga adat istiadat yang berlaku di sana. Budaya ideal adalah keadaan
yang aman dan tentram, tapi nyatanya tetap saja ada
yang namanya pencurian,
yang merupakan salah satu contoh perilaku menyimpang yang bersifat mutlak. Terdapat
juga penyimpangan yang telah menyesuaikan diri ke dalam kebudayaan masyarakat
Desa Mawen, yaitu konsumsi minuman keras. Tidak ada peraturan mengenai minuman
keras.Anak-anak remaja diperbolehkan untuk mengkonsumsi minuman keras asal
tidak menimbulkan keributan. Tetapi penyimpangan ini memiliki norma
penghindaran dimana penyimpangan dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau hanya
pada saat hajatan berlangsung dan tidak pada siang hari di tempat terbuka
sehingga pelaku penyimpangan tidak mendapat celaan dari masyarakat sekitar.
Perilaku menyimpang ini biasa dilakukan
oleh pihak remaja. Umumnya disebabkan oleh faktor intelegensi, di mana mungkin
mereka kurang mendapatkan pendidikan mengenai etika dalam masyarakat. Peran
keluarga pun mungkin tidak harmonis atau broken
home sehingga anak terjerumus ke hal-hal yang tidak baik. Faktor sanksi
yang tidak tegas dan tergolong ringan pun tidak menimbulkan efek jera bagi
pelanggar. Bahkan tidak ada aturan mengenai rokok ataupun alkohol.
Dan sangat mungkin perilaku menyimpang tersebut merupakan hasil meniru dari
media massa, terutama sinetron atau berita yang mengandung begitu banyak unsur
kekerasan.
Penyimpangan yang terjadi sangatlah
beraneka ragam. Berdasarkan bentuknya, yang paling sering terjadi adalah
penyimpangan sekunder dari hasil minum-minum para remaja. Berdasarkan sifatnya,
terdapat penyimpangan positif di mana kaum wanita pun ikut menjadi petani untuk
membantu penghasilan keluarga. Berdasarkan pelaku, biasanya penyimpangan
dilakukan individual maupun kelompok.
Sebagian
besar penyimpangan yang terjadi di Desa Mawen
termasuk kenakalan remaja, yaitu tawuran. Adapula penyimpangan berupa
kriminalitas. Biasanya kejahatan tersebut berupa kejahatan tanpa korban maupun kejahatan
kerah biru. Penyimpangan yang dilakukan biasanya hanya merugikan diri sendiri
tanpa merugikan orang lain, contohnya mabuk-mabukan. Karena penduduk di Desa
Mawen masih tergolong ekonomi menengah ke bawah, kejahatan yang dilakukan
tergolong kejahatan kerah biru karena dampaknya tidak begitu besar. Penyimpangan
juga biasa dilakukan secara individual, seperti pencurian. Walaupun sebenarnya,
pencurian yang terjadi juga merupakan salah pemilik rumah yang menjadi korban.
Karena rasa percaya yang terlalu tinggi antara satu sama lain, pintu-pintu
rumah dibiarkan terbuka lebar sehingga sangat mudah untuk orang lain keluar
masuk seenaknya tanpa diketahui. Orang yang tertangkap mencuri juga tidak akan
dibawa langsung ke polisi. Awalnya, mereka hanya akan diberi peringatan, lalu
jika mereka mengulangi perbuatan yang sama, barukah akan dilaporkan ke pihak
yang berwajib. Bentuk penyimpangan yang sering ditemukan adalah alkoholisme. Tidak
hanya orang dewasa, bahkan remaja/pelajar yang masih dibawah umur pun sudah
biasa dalam hal mengkonsumsi minuman keras. Tak jarang juga, hal ini berujung
pada kenakalan remaja dalam bentuk tawuran. Biasanya pada saat hajatan dan
banyak remaja yang mabuk, akan terjadi tawuran antara 2 kelompok yang
menyebabkan banyak orang terluka. Tawuran ini akan terus berlangsung sampai
datang bantuan dari pihak instansi keamanan untuk melerai. Rokok juga sudah
bukan lagi menjadi benda asing bagi para remaja. Banyak remaja bahkan anak
kecil yang sudah merokok.
Tampaknya, walaupun ada peraturan desa dan
adat istiadat, penyelenggaraan nyata norma-norma tersebut lebih bebas daripada
yang terjadi di kota bebas. Contoh lainnya adalah mengendarai sepeda motor
tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) dan tidak menggunakan helm. Banyak
remaja-remaja yang membawa motor secara kebut-kebutan dan tidak berhati-hati.
Sekarang pun banyak remaja yang terlihat berpacaran di depan umum tanpa
mempedulikan perkataan dan gosip tetangga. Banyak ditemukan 2 remaja yang
sedang berpacaran sambil berpegangan tangan atau duduk berpangkuan tanpa
memperhatikan batasan-batasan norma. Perilaku menyimpang di sini dipengaruhi
oleh faktor media massa. Para remaja tidak memiliki banyak hal untuk dilakukan
sepulang sekolah sehingga mereka akan menghabiskan waktu mereka di depan
televisi untuk menonton sinetron atau mendengarkan lagu dangdut dari radio.
Sinetron atau film yang ditayangkan di saluran televisi kebanyakan belum
disaring apakah cocok untuk penonton dibawah umur.Apalagi orang tua di desa
belum memiliki kesadaran untuk mengawasi tontonan anaknya, sehingga anak dapat
mendapatkan banyak informasi yang mungkin mengandung kekerasan atau hal-hal
yang tidak pantas. Banyak lagu-lagu dangdut yang mengandung lirik tidak senonoh
dan tidak cocok untuk didengarkan oleh para remaja. Pergaulan di desa juga
terlalu bebas, orang tua biasanya terlalu memberikan kepercayaan kepada anaknya
dengan anggapan mengenal semua anggota masyarakat di desa tersebut.Sehingga
tanpa adanya pengawasan yang tegas, mereka bisa mendapatkan pengaruh yang tidak
baik dari lingkaran pergaulannya. Kehidupan desa yang penuh kebersamaan
dan solidaritas tetap tidak menutup kemungkinan adanya segelintir orang yang
anti sosial. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang
berlaku di masyarakat mereka. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan seseorang
untuk menerima perbedaan sosial Ada sedikit sikap rasisme dan stereotip yang
muncul karena penyimpangan/deviasi biologis seperti ras, suku, dll. Beberapa
remaja terdengar mengejek dan membeda-bedakan ras. Mereka juga memiliki
pandangan stereotip tentang orang yang tinggal di kota. Menurut mereka, orang
yang tinggal di perkotaan tidak dapat mengerjakan pekerjaan rumah karena
semuanya telah diselesaikan oleh pembantu, tidak mengetahui hal-hal dasar
sederhana, dll. Ada juga seorang anak perempuan di Desa Mawen yang mengalami
gangguan mental, dia tidak dapat berbicara dan lancar ataupun berkomunikasi
dengan baik. Anak itu tidak disukai dan dikucilkan oleh anak-anak lain seumurannya,
walaupun orang-orang dewasa tetap memperlakukannya sama dengan yang lain. Dengan
adanya penyimpangan, tentu saja akan diadakan pengendalian sosial untuk
mempertahankan stabilitas dan keserasian sosial. Ada yang preventif, yaitu
berbentuk pencegahan sebelum penyimpangan terjadi. Dilakukan dengan cara
nasihat atau peringatan yang kebanyakan dilakukan dalam lingkungan keluarga,
oleh orang tua kepada anaknya. Ada juga yang represif, yaitu pengendalian yang
dilakukan setelah penyimpangan terjadi untuk penanggulangannya. Pengendalian di
Desa Mawen ada yang bersifat kuratif untuk memperbaiki karena tidak melibatkan
si pelaku penyimpangan dalam proses pengendalian itu sendiri. Pengendalian
dapat berupa pendidikan yang ada di sekolah maupun di rumah. Sayangnya,
pendidikan di desa ini belum memadai. Taraf pendidikannya masih lebih rendah
daripada yang ada di perkotaan sehingga pendidikan moral pun kurang ditanami
kepada para murid. Bisa juga berupa pendidikan agama yang terlihat sekali,
karena tingkat religiusitas di Desa Mawen cukup tinggi. Jika terjadi
penyimpangan, hal yang pertama kali dilakukan adalah gossip/desas-desus yang
tersebar dengan cepat terutama dikalangan ibu-ibu. Lalu, darisana mulai
munculah sindiran dan cemoohan dari masyarakat sekitar. Biasanya ibu-ibu akan
melakukan hal ini setiap sore di depan rumah bersama dengan tetangga sekitar.
Jika pelaku penyimpang masih belum sadar juga, maka akan mendapatkan teguran
secara terbuka. Sebagai jalan terakhir bagi lelaku yang tetap tidak berubah,
akan diurus oleh pihak yang berwajib sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Lembaga yang paling berperan adalam lembaga kepolisian, lembaga adat dan tokoh
masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar